Pancasila sebagai Kompas Moral dalam Pembangunan Proyek Geotermal di Flores

bulat.co.id, Opini -Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila sebagai fondasi dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila bukan hanya sekadar simbol formalitas, melainkan harus menjadi kompas moral dalam setiap kebijakan dan proses pembangunan di tanah air, termasuk di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pulau Flores belakangan ini sedang menghadapi dinamika konflik seputar pembangunan energi panas bumi atau geotermal yang dimana konflik menguji keberpihakan kita pada nilai-nilai Pancasila.
Sebagai wilayah dengan potensi geotermal yang sangat besar, Pulau Flores mendapat perhatian dari pemerintah dan investor sebagai bagian dari strategi transisi menuju energi bersih dan pemenuhan kebutuhan listrik nasional. Proyek-proyek seperti Ulumbu, Mataloko, Poco Leok dan sejumlah titik potensial lainnya dinilai penting secara ekonomi dan lingkungan. Namun, pembangunan ini tidak semata menyangkut kepentingan energi, tetapi juga menyentuh hak hidup dan keberlangsungan masyarakat adat yang selama berabad-abad mendiami dan menjaga alam pulau ini dengan kearifan lokal mereka.
Baca Juga:
Dalam konteks inilah, Pancasila seharusnya hadir bukan sebagai slogan kosong, melainkan sebagai pedoman moral yang menuntun arah pembangunan agar tidak hanya menguntungkan secara material, tetapi juga adil secara sosial dan manusiawi.
Sila kedua Pancasila, "Kemanusiaan yang adil dan beradab," mengamanatkan bahwa setiap pembangunan harus menghormati martabat dan hak asasi manusia. Masyarakat adat di Flores bukanlah objek pembangunan yang bisa diabaikan, melainkan subjek yang memiliki hak penuh atas ruang hidup dan masa depan mereka. Penolakan warga terhadap proyek yang tidak melibatkan mereka secara aktif merupakan cerminan bahwa nilai kemanusiaan ini belum diimplementasikan secara optimal.
Sementara itu, sila keempat, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan," menuntut adanya proses dialog, musyawarah, dan partisipasi penuh semua pihak dalam setiap pengambilan keputusan. Kenyataannya, banyak warga Flores merasa bahwa keputusan terkait proyek geotermal dilakukan secara sepihak dan tidak transparan. Hal ini menimbulkan rasa ketidakpercayaan serta mencederai semangat demokrasi yang menjadi salah satu roh utama Pancasila.
Kemudian, pada sila kelima, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," menggarisbawahi bahwa pembangunan harus memberikan manfaat yang adil dan merata. Ketika pembangunan hanya menguntungkan segelintir pihak dan justru menimbulkan kerugian sosial, budaya, dan ekologis bagi masyarakat lokal, maka itu adalah bentuk nyata dari ketidakadilan. Energi bersih seharusnya menjadi berkat, bukan sumber konflik dan penderitaan bagi masyarakat yang selama ini menjaga tanah dan air tempat proyek itu dibangun.
Sebagai anak Flores, saya menyampaikan keprihatinan besar, dimana bahwa pembangunan geotermal, walaupun mengusung misi besar yaitu energi bersih dan keberlanjutan, bisa menjadi pisau bermata dua jika tidak dikelola secara adil dan beretika. Pancasila bukan hanya warisan historis, tetapi juga merupakan tanggung jawab kolektif kita untuk menjadikannya nyata dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam setiap kebijakan pembangunan sumber daya alam.
Negara dan semua pihak yang terlibat harus memastikan bahwa setiap proyek pembangunan menjadikan Pancasila sebagai pijakan nilai dan panduan etis. Dengan begitu, energi panas bumi dari Flores bukan hanya akan menerangi rumah-rumah di kota besar, tetapi juga menerangi kehidupan masyarakat adat dengan keadilan, penghormatan, dan keberlanjutan.
Untuk terwujudnya Pancasila sebagai kompas moral dalam pembangunan proyek geotermal di Flores diperlukan pembentukan forum dialog permanen antara masyarakat adat, pemerintah, dan pengembang energi untuk memastikan transparansi dan partisipasi publik. Selain itu, studi lingkungan dan sosial harus dilakukan secara independen dan partisipatif agar suara masyarakat benar-benar terdengar dan dihargai. Keadilan ekologis dan budaya harus menjadi komitmen utama dalam setiap rencana pembangunan di Flores.
Mari kita wujudkan pembangunan yang berpihak pada rakyat dan alam, berpegang pada kompas moral Pancasila, demi masa depan Flores yang lebih adil dan berkelanjutan.
Opini ini ditulis Oleh: Yohanes Brilian Jemadur -Sekretaris Jenderal Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Surabaya

Tangan Jonan "Bunuh" Orang Poco Leok, Desakan Cabut SK Menteri ESDM Diungkap Pelajar SMAK Loyola Labuan Bajo Lewat Sebuah Fragmen

Pro Kontra Proyek Geothermal Poco Leok, Siapa Untung Siapa Buntung?

Poco Leok Dukung Geothermal, Warga Gelar Aksi Damai di Manggarai

Puan Floresta Bicara Gelar Diskusi Hadirkan Masyarakat Poco Leok, Bupati dan Pemerhati Lingkungan

Sikap Floresa terkait Penanganan Kasus Kekerasan oleh Polisi Terhadap Pemimpin Redaksi, Herry Kabut
