Teater "Nestapa di Tanah Pusaka" Cara Pelajar SMA di Labuan Bajo Kritisi Kebijakan Pemerintah

Ven Darung - Sabtu, 03 Mei 2025 12:24 WIB
Teater "Nestapa di Tanah Pusaka" Cara Pelajar SMA di Labuan Bajo Kritisi Kebijakan Pemerintah
Ven Darung
Siswa siswi SMA Katolik St. Ignatius Loyola Labuan Bajo saat pentas teater Nestapa di Tanah Pusaka. Labuan Bajo. Jumat, [2/5] malam.
bulat.co.id, Labuan Bajo -Sejumlah Pelajar Sekolah Menengah Atas [SMA] Katolik St. Ignatius Loyola Labuan Bajo Manggarai Barat mementaskan sebuah Teater "Nestapa di Tanah Pusaka" yang menceritakan buruknya sejumlah kebijakan pemerintah pusat dua periode terakhir.

Teater yang dipentaskan itu ditonton oleh ratusan orang yang ikut hadir memeriahkan perayaan ulang tahun Hari Pendidikan Nasional [Hardiknas] di Lapangan Bola SMA Katolik St. Ignatius Loyola. Jumat, [2/5] malam.

Advertisement

Charles Deon, Penulis Naskah sekaligus Sutradara Teater Nestapa di Tanah Pusaka itu mengungkapkan bahwa cerita itu berangkat dari keresahan dari bilik ruang kelas yang tidak tersampaikan.

Baca Juga:

"Teater ini sebenarnya kristalisasi keresahan dari ruang kelas. Ekspresi keresahan. Kita mau omong apa, siapa yang mau dengarkan kita. Guru itu dimuliakan saat Pemilu saja, setelah itu dihina dengan kebijakan yang merugikan kita. Jadi moment ini sebagai ekspresi kita," kata Charles kepada awak media.

Teater tersebut menyinggung beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan masyarakat. Diantaranya adalah Kebijakan di Bidang Pendidikan, ganti menteri, ganti kurikulum. Kemudian Program Food Estate dan Makan Bergizi Gratis, Pagar Laut, Pembungkaman Pers dan kebebasan berpendapat.

Benedikta Julita Demose [Dikta] Siswi kelas XI F salah satu pelakon dalam pementasan teater Nestapa di Tanah Pusaka itu mengatakan bahwa, ini adalah kesempatan yang pertama bagi dirinya masuk teater.

"Saya gugup, takut tidak bisa membawakan teater di depan banyak orang," ungkapnya ketika diwawancara.

Dikta, masuk teater atas kemauan sendiri. "Saya bertekad, karena saya punya motivasi saya harus percaya diri dan tidak malu untuk tampil di depan orang banyak," katanya.

"Saya masuk teater itu supaya punya banyak pengalaman," tambah Cantika Putri Wahidun [Putri] kelas X E, Siswi yang ikut dalam pementasan teater.

Kata mereka [Dikta dan Putri], mereka menghabiskan waktu satu minggu untuk latihan. "Satu hari latihannya dua kali. Pagi dan Sore," lanjutnya.

Bagi Dikta dan Putri, teater itu bagus dan keren. Teater bisa mengasah kemampuan kita untuk berakting.

Untuk bisa menjiwai karakter sebagai pelakon, Dikta dan Putri awalnya belajar memahami naskah.

"Awalnya kami tidak tahu, kami akan membawakan teater tentang Nestapa di Tanah Pusaka. Kami pikir kami akan membawakan cerita cerita tentang pendidikan. Setelah dikasih naskah, ternyata kami akan membawakan teater yang mengkritisi kebijakan pemerintah. Kesannya kaget dan bangga dapat kepercayaan untuk membawakan teater seperti ini," ungkap kedua Siswi SMA Katolik St. Ignatius Loyola Labuan Bajo itu.

Ketika pertama kali membaca naskah, Dikta dan Putri sedikit takut karena berkaitan dengan pemerintah.

"Kami takut menampilkan teater ini. Ragu ragu mau ikut. Tetapi di pertengahan, ternyata ceritanya bagus. Jadi kami harus ikut. Apalagi ini kan fakta," ungkap keduanya.

Hal yang membuat kedua Siswi itu takut karena cerita tentang Wiji Tukul, seorang penyair jalanan, aktivis yang kemudian hilang bersama karyanya.

"Karena katanya dia [Wiji Tukul] juga pernah membawakan teater keliling terkait kritik sosial, kemudian dia hilang sampai saat ini tidak diketahui. Jadi setelah dapat cerita soal itu, kami takut, kami was was, jangan sampai setelah pementasan teater ini, kamj juga hilang seperti Wiji Tukul. Tetapi setelah dijelaskan, kami akhirnya memahami," ungkap kedua Siswi itu.

"Kami juga Was was karena di sini tadi ada Polisi dan TNI takut pas pulang jalan sendiri.

Yang membuat kami takut itu kan, kami masih anak sekolah. Takutnya nanti berbicara berlebihan, takut ditangkap oleh Polisi. Masih SMA begini sudah berani mengkritik pemerintah," lanjut keduanya.

"Tadi anak anak itu takut memainkan teater. Bagaimana anak anak yang tumbuh di zaman reformasi, masih takut aparat itu masuk dalam kegagalan yang luar biasa. Ini salah siapa sebenarnya," ungkap Sutradara Teater Nestapa di Tanah Pusaka.

Rasa takut itu seketika hilang ketika dukungan penonton menggema.

"Memang, waktu pentas tadi masih ada rasa takut tetapi setelah penonton juga bersorak ternyata banyak yang mendukung. Oh, pas ini teater, mantap ini teater. Banyak yang dukung. Jujur, tadi pas ada sorakan dari penonton, rasanya merinding," ungkap keduanya.

Dikta dan Putri berharap dari teater yang ditampilkan adanya kesadaran dari pihak pihak pemangku kebijakan.

"Khususnya Tokoh tokoh yang masuk dalam naskah teater kami ini, bahwa perilaku mereka juga sangat tidak manusiawi. Banyak masyarakat yang miskin," ungkap keduanya.

Dalam pementasan teater Nestapa di Tanah Pusaka itu, Siswa siswi SMA Katolik St. Ignatius Loyola Labuan Bajo begitu berani mengkritisi kebijakan makan bergizi gratis.

Bagi mereka, program makan bergizi gratis adalah program yang sangat tidak adil.

"Terkait makan siang [bergizi] gratis ini, tidak semua sekolah di Labuan Bajo mendapatkan makan bergizi gratis. Apalagi sekolah Swasta, otomatis tidak dapat. Berbeda dengan Negeri. Kami hanya butuh pendidikan gratis saja," kata Dikta dan Putri.

"Masih banyak di luar sana yang untuk makan siang saja sangat susah apalagi untuk biaya pendidikan. Bagi kami,pendidikan itu penting agar anak anak di luar sana itu bisa menjadi anak anak yang berkembang, anak anak yang berpikir kritis agar ke depannya bisa menjadi orang sukses," lanjutnya.

Mereka juga meminta pemerintah untuk adil dalam mengambil kebijakan.

"Menurut saya, program makan bergizi gratis ini kan untuk anak anak di sekolah. Lalu, bagaimana dengan anak anak yang tidak sekolah, terlantar? Apakah mereka juga mendapatkan makan bergizi gratis? Jadi kami berharap dengan pementasan teater Nestapa di Tanah Pustaka ini, banyak orang orang yang tersadarkan. Ada kebijakan yang lebih baik ke depan," ungkap Dikta.

Bagi keduanya, Pendidikan gratis lebih penting daripada program makan bergizi gratis.

"Khususnya kami di SMK Loyola, masih banyak Siswa/i yang biaya pendidikannya dibiaya oleh pihak lain, bukan oleh orang tua," kata Putri.

Bicara makan bergizi gratis, ini kan untuk seluruh anak di Indonesia. Yang terjadi di Labuan Bajo apa, yang mendapatkannya hanya Sekolah Negeri. Sementara itu, negara sudah defisit 30 sekian triliun. Itu baru dua bulan berjalan. Artinya begini, dimana asas keadilan. Mereka [sekolah negeri] selama dua bulan ini sudah mencicipi, sementara anak anak kami ini belum mencicipi apa apa.

Diakhir pementasan teater, mereka membacakan puisi Lawan dari Wiji Tukul. "Ketika meneriakkan kata Lawan dalam puisi Wiji Tukul, perasaan kami itu marah," ungkap keduanya.

Menariknya, ditengah tengah teater itu dipentaskan, ketika para pelakon begitu menjiwai karakter masing masing, para penonton yang larut dalam emosi, spontan meneriakan Poco Leok Melawan. Teriakan itu membuat Dikta dan Putri tambah semangat dan percaya diri.

Bagi Putri dan Dikta, kebijakan pemerintah kabupaten Manggarai soal Poco Leok sangat merugikan warga sekitar.

"Karena yang dilakukan oleh pemerintah itu banyak yang merugikan masyarakat. Mereka [pemerintah] aman, sementara warga yang di sekitar lokasi tambang yang dirugikan. Bagaimana nanti nasib mereka, mau dipindahkan kemana mereka," ungkap keduanya.

Kedua Siswi SMA Katolik St. Ignatius Labuan Bajo itu juga menyoroti masalah sempadan pantai di Labuan Bajo.

"Kami sebagai warga Labuan Bajo juga sangat kecewa, karena pendapatan utama dari masyarakat setempat juga kan dari hasil tangkapan nelayan juga kan. Jadi kalau pemerintah melakukan pagar laut seperti itu, jadi pemerintah itu kayak tidak memikirkan nasib warga. Seharusnya ada keuntungan untuk hotel ada keuntungan untuk nelayan, biar adil. Jangan laut dipagari," ungkap Dikta dan Putri.

Ada suara yang tak didengar - dilupakan

Teater yang bercerita tentang kebijakan pemerintah itu ditulis atas keresahan yang tak didengar dan dilupakan.

Bagi Charles Deon, Penulis Naskah dan Sutradara, teater semacam ini menjadi ruang ekspresi untuk mengungkapkan keresahan yang tak pernah didengar.

Kata Charles, teater ini merupakan bentuk kristalisasi keresahan dari bilik ruang kelas.

"Kalau saya guru ASN, tidak mungkin saya buat begini. Karena akibatnya saya pasti akan dipindahkan ke tempat lain atau saya akan dibungkam. Kalau saya ASN, saya pasti tidak akan berani. Teman teman guru punya keresahan yang sama, hanya mereka tidak berani berbicara," katanya.

"Ketika misalnya saya adalah guru PPKN, bagaimana saya bicara soal HAM, sementara masalah HAM masa lalu di negeri ini, sampai hari ini belum selesai selesai, bahkan sampai hari ini, kasus HAM masih saja terjadi padahal pasca reformasi," lanjut Charles.

Yang paling mengecewakan juga, kata Charles adalah respon protokol kepresidenan yang merendahkan martabat Pers.

"Itu sebenarnya bukan hanya teman teman Pers yang direndahkan tetapi juga sisi kritikal thingking dalam dunia pendidikan. Karena dalam kurikulum sekarang mengajarkan siswa untuk berpikir kritis. Lalu ketika kekritisan itu dibungkam, kami mau ajar apa di sekolah," ungkapnya.

Pemerintah, kata dia lebih senang sesuatu yang gebyar daripada sesuatu yang ada titik balik refleksi. "Maka sebenarnya, momentum seperti ini adalah momentum refleksi sebenarnya, dari mana titik awal pendidikan, hari ini bagaimana, kedepan bagaimana," katanya.

Charles juga mengungkapkan adanya Politisasi Pendidikan. "Politisasi pendidikan sama dengan politisasi kemanudian. Karena pendidikan sangat berkaitan dengan manusia sebagai mahluk yang berpendidikan," ungkapnya.

Pementasan teater Nestapa di Tanah Pusaka itu, kata dia menjadi ruang yang sangat luar biasa untuk mengungkapkan keresahan yang dialami selama ini. "Soal keresahan, sudah terwakili ia. Tapi banyak yang dengar tapi tidak mendengarkan," ungkapnya.

Dia menambahkan, Lembaga SMA Katolik St. Ignatius Loyola tidak pernah mengintervensi untuk mementaskan teater ini.

"Justru mereka mendukung. Tahun lalu juga, ketika festival Golo Koe, kami juga mementaskan teater yang mengkritik kebijakan pemerintah," tambahnya.

Tokoh yang menginspirasi Naskah ini ditulis adalah Wiji Tukul, seniman jalanan yang paling ditakuti pemerintah orde baru.

"Bagi kami Wiji Tukul itu luar biasa. Dia itu bukan Mahasiswa, bukan juga Politisi atau mantan aktivis 98 yang kemudian menjadi politisi bahkan menjilat kekuasaan. Tetapi dia hilang dalam karyanya. Dia menyampaikan pesan lewat panggung panggung kecil, di lorong lorong gitu kan, lalu pada akhirnya dia hilang. Banyak

Aktivis yang mati dengan jubah aktivisnya, salah satunya ya Wiji Tukul itu. Jangan sampai teman teman Pers juga akan hilang dalam karyanya, seperti yang sudah sudah, gitu kan," ungkap Charles.

Sebagai guru, Charles begitu terbeban dengan maraknya kebijakan aktivitas ganti menteri ganti kurikulum.

"Perubahan kurikulum seharusnya menjawabi tantangan yang ada. Tetapi akhir akhir ini semakin tidak masuk akal. Kurikulum merdeka itu kan baru satu tahun, yang kelas tiganya baru ujian kemarin. Artinya belum ada evaluasi. Tiba tiba rubah lagi namanya, yang walaupun semuanya sudah ada di kurikulum merdeka. Seolah olah, ganti presiden, ganti menteri ganti kurikulum, ganti istilah [nomenklatur]. Untuk mengganti istilah ini saja, negara menghabiskan anggaran. Sementara banyak guru guru di kampung yang digaji 300 per bulan, teman teman guru di Papua yang mati tertembak," ungkapnya.

Charles juga menyoroti banyaknya Proyek Strategis Nasional [PSN] masa pemerintahan Jokowi Ma'aruf di Labuan Bajo yang mengabaikan hak warga.

"Di Labuan Bajo sendiri banyak proyek strategis nasional yang tidak jelas. Proyek jalan Labuan Bajo Golo Mori, Embung Anak Munting sampai hari ini tidak ada ganti rugi lahan. Kita di sini seperti ikan lele gitu kan. Dikasih pakan selama tiga bulan setelah itu dipanen. Kalau tidak bisa dipanen, dikasihlah predator, devide et empera. Jadi Labuan Bajo sebagai pariwisata superpremium ini terkesan seperti pariwisata super prihatin," jelasnya.

"Kami sebagai guru, apalagi masih honor kami hanya didengar saat musim politik. Setelah itu tidak. Jadi lewat ruang ruang seperti inilah kami bisa mengungkapkan keresahan yang telah lama kami pendam," pungkas Penulis Naskah Teater Nestapa di Tanah Pusaka, itu.

Editor
: Ven Darung
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru