Indonesia dan Attitude yang Independen

Riki Cowang - Kamis, 14 Desember 2023 14:30 WIB
Indonesia dan Attitude yang Independen
net
Ilustrasi.

Oleh: Riki Cowang

Advertisement

Indonesia sebagai bangsa yang dikenal dengan Kemajemukan dari berbagai aspek-aspek kehidupan, sudah bukanlah ciri baru lagi Indonesia sejak lama terdiri atas berbagai suku, ras, adat istiadat bahkan agama dan juga berbagai perbedaan lainnya.

Baca Juga:

Rumusan Bhineka tunggal ika menjadi corong atas perbedaan dalam aspek kehidupan yang ada. Membicarakan perbedaan dengan mengupayakan persatuan persatuan tentunya lahir berbagai perspektif juga tindakan.

Mengupayakan persatuan tentunya memerlukan sikap kepemimpinan independen dan poin positif lainnya.

Tidak hanya itu, Indonesia dikenal karena wilayahnya dan situasi yang ada di dalamnya.

Mengurai wilayah Nusantara yang subur juga terkadang rawan bencana, dengan adanya pengaruh iklim yang membuat sewaktu-waktu dapat membuat semangat yang dahsyat seperti gunung berapi, akibat daripada segala situasi yang ada, Indonesia kini memiliki dua sisi diantaranya sisi yang membangun dan juga sisi yang membelenggu yang dapat merusak dengan kekuatannya yang luar biasa dahsyatnya.

Kehidupan di Negara kesatuan Republik Indonesia dengan dinamika yang bergejolak dalam menentukan arah keadilan dan kesejahteraan, yang dimana keduanya menjadi kunci dari berbagai aspek kehidupan yang ada.

Dalam mengendalikan kedua kunci tersebut sangat erat kaitannya dengan dibutuhkan actor yang tentunya mampu bersikap mengendalikan segala situasi yang ada tanpa mengutamakan hal personal.

Tidak bisa dihindari, persoalan sering berhadapan dengan Negara Indonesia.

Dalam memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan lahir suatu indeks baru yang dinamakan perkara kekuasaan.

Kekuasaan lahir dari adanya actor yang dimana mempunyai wewenang dalam menentukan arah keadilan dan kesejahteraan.

Kekuasaan dalam teori politik kontemporer tidak selalu memiliki arti negatif.

Kekuasaan di satu sisi identik dengan kekerasan, paksaan, represi, dan manipulasi, namun di sisi lain berarti kekuatan mengatur dan stabilisasi.

Berkuasa berarti memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi.

Kekuasaan selalu bersifat bipolar. Dalam relasi bipolar tersebut penguasa mempengaruhi ruang lingkup tindakan (Handlungsumwelt) dari yang dikuasai.

Ruang lingkup tindakan terdiri dari tiga faktor yakni pertama, alternatif-alternatif tindakan yang dimiliki oleh seorang aktor; kedua,pemahamannya tentang alternatif; ketiga, penilaian tentang alternatif.

Konsep kekuasaan ini dapat dihubungkankan dengan pandangan Max Weber tentang kekuasaan.

Menurut Max Weber, "kekuasaan berarti setiap kemungkinan, dalam suatu relasi sosial, untuk melaksanakan kehendak sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar dari kemungkinan itu".

Jadi kekuasaan mengungkapkan kemampuan untuk memengaruhi seseorang atau sesuatu dengan cara yang diinginkan guna menciptakan perubahan yang dikendaki.

Untuk mengendalikan kekuasaan yang identik dengan kekerasan, paksaan, represi, manipulasi serta hal lainnya, maka dalam hukum tata negara dikenal dengan asas pembagian kekuasaan, atau dalam praktik ketatanegaraan dikenal dengan ajaran trias politica. Dalam pembagian kekuasaan berbeda dengan pemisahan kekuasaan.

Pemisahan kekuasaan berarti kekuasaan terpisah tanpa ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan pembagian kekuasaan kekuasaan terbagia atas beberapa bagian, tetapi tidak terpisah dan mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya.

Mendalami situasi Negara Indonesia saat ini, dalam kaca mata penulis, menguraikan bahwa ternyata ada akar persoalan yang mampu memengaruhi segala aspek kehidupan, lebih khusus aspek keadilan dan kesejahteraan. Dalam perspektif penulis akar persoalan untuk menunjang kesejahteraan dan keadilan adalah hukum itu sendiri.

Dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3) disebutkan Negara Indonesia adalah negara hukum.

Ketika bertajuk pada "Asas negara hukum", dijelaskan negra hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.

Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup bagi warga negaranya.

Negara hukum itu dicirikan tiga hal, diantaranya;

Pertama, pengakuan dan perlindungan HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi dan kebudayaan.

Kedua, peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Dan ketiga, legalitas dalam segala bentuknya.

Mengaca keadaan hukum di Indonesia saat ini, hukum diselimuti oleh drama.

Untuk menciptakan hukum yang bersinar tentunya peran penegak hukum sangatlah urgen.

Tidak hanya itu, tentunya peran pemerintah dan masyarakat dalam menjaga eksistensi hukum sangatlah mendalam.

Namun saat ini hukum sedang hangat-hangat diperbincangkan untuk menanyakan kembali tujuannya yang meliputi hukum menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Setiap tokoh yang mempunyai peran penting dalam menata ketatanegaraan. Setiap tokoh mempunyai wataknya masing-masing. Bila dilihat dari fungsi penampilan, tokoh dibedakan ke dalam protagonis, antagonis, tirtagonis, dan figuran.

Protagonis merupakan tokoh yang menampilkan sesuatu sesuai pandangan dan harapan pembaca. Mengambarkan watak yang baik dan positif.

Tokoh ini dikenal dengan watak tokoh yang mampu menyita empati dan perhatian pembaca.

Antagonis, antagonis menjadi salah satu tokoh yang menimbulkan konflik dalam cerita. Ia merupakan penggambaran watak yang buruk dan negatif, biasanya dibenci pembaca.

Tritagonis disebut juga karakter ketiga atau penegah. Menggambarkan watak yang bijak. Berfungsi sebagai pendamai atau jembatan atas penyelesaian konflik.

Figuran merupakan tokoh atau peran yang berarti dalam penceritaan. Figuran juga disebut peran pembantu. Berbeda dari penggolongan tiga tokoh sebelumnya, figuran dogolongkan ke dalam jenis tokoh berdasarkan tingkat penting peran.

Setiap tokoh dengan wataknya masing-masing berpengaruh pada skenario yang strategis yang dimiliki dalam menciptakan drama yang dinikmati oleh pembaca/ publik.

Belakangan ini fenomena kekacauan yang meluas di Indonesia semakin drastis diperbincangkan hinggah diperdebatkan, menuai sikap pro dan kontra, tidak dapat dipungkiri kebebasan dan kekuasaan yang dinahkodai dengan pribadi-pribadi yang kompeten telah menciptakan kekeroposan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan, sehingga tidak mengherankan kesejahteraan rakyat masih belum terwujud baik namun sebaliknya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tetap meningkat sementara penegakan hukum kadang "dipermainkan".

Kemerosotan kepemimpinan yang mampu menegakkan hukum menjadi persoalan di bumi Nusantara. Persoalan hukum tidak luput dari konflik kekuasaan, memberi pengaruh pada suatu putusan.

Pemimpin menjadi aktor yang menahkodahi kapal menuju suatu tujuan.

Di tengah sebuah era dimana pemahaman tentang politik sedang dikaburkan dan dideterminasi oleh praktik-praktik politik yang diwarnai tipu muslihat, perebutan kekuasaan, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Independen identik dihubungkan dengan sifat individu seseorang. Secara etimologi, kata independen adalah sebuah ungkapan bahasa Inggris, yaitu independent yang berarti bebas dan merdeka. Dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) mengartikan independen sebagai berdiri sendiri, berjiwa bebas, tidak terikat, merdeka, dan bebas. Dari sudut pandang politik, independen adalah suatu sikap dan tindakan untuk tidak memihak, tidak bisa dipengaruhi, serta tidak tergantung pada pada pihak lain atau siapapun.

Mengaca pada akar problematika hukum yang menjalar ke setiap sudut kehidupan di Indonesia, dalam kacamata penulis kita perlu mendambakan adanya pemimpin yang merdeka dalam meminimalisir bahkan menghilangkan segala kebiasaan-kebiassan yang fatal menghambat kemajuan suatu bangsa. Berbagai bentuk kebiasaan-kebiasaan yang itu diantaranya praktik yang membudaya seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Upaya menempatkan hukum pada posisi yang tinggi masih saja dipertanyakan.

Praktik-praktik saat ini membawa, mempengaruhi hukum dari segala situasi, lebih khusus situasi politik. Hukum dalam berbagai masyarakat adalah pijakan untuk berdiri, kuat atau tidaknya hukum tersebut menopang masyarakat tergantung dari komposisi hokum itu sendiri apakah bisa memenuhi kriteria yang dibutuhkan masyarakat tersebut.

Melihat hal demikian, atas dasar belum secara tuntasnya memperjuangkan Indonesia sebagai negara berdasarkan hokum (rechtsstaat) bukan sebagai negara kekuasan belaka (Machsstaat)), maka penting kita memiliki pemimpin yang tanpa memberi pengaruh dengan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan individu, lain hal kita perlu memiliki pemimpin yang mampu memerankan hokum dalam segala aspek kehidupan dengan mengedepankan kemanfaatan, kepastian dan keadilan hukum.

Editor
: Andy Liany
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru