Ian Wilson Prediksi Nasib Demokrasi Indonesia Jika Prabowo Terpilih Jadi Presiden 2024

Andy Liany - Kamis, 08 Februari 2024 13:00 WIB
Ian Wilson Prediksi Nasib Demokrasi Indonesia Jika Prabowo Terpilih Jadi Presiden 2024
net
Capres
bulat.co.id - Seorang pengamat internasional memprediksi masa depan Indonesia apabila capres nomor urut 2 Prabowo Subianto menang di pemilihan presiden atau pilpres 2024.

Advertisement
Hal itu disampaikan oleh Pengamat kajian politik dan keamanan internasional dari Universitas Murdoch, Ian Wilson.

Baca Juga:
Wilson menuangkan pendapatnya dalam opini bertajuk "An election to end all election?" yang dirilis di situs Fulcrum pada Selasa (30/1).

Dalam opini tersebut, Ian Wilson meramalkan bahwa demokrasi Indonesia akan kembali ke zaman orde baru.

Di mana tidak akan ada Pemilu langsung juga ditiadakannya oposisi yang akan mengawal jalannya pemerintahan yang otoriter.

Situs ini terafiliasi dengan lembaga think tank ISEAS, Yusof Ishak Institute.

Simak, inilah beberapa prediksi Wilson jika RI dipimpin Prabowo.

1. Tak ada pemilihan langsung

Wilson menilai jika Prabowo menang, Indonesia mungkin akan mengkaji lagi penerapan sistem pemilihan umum tidak langsung.

Sebab, Prabowo dan partainya, Gerindra, pernah berupaya mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) ke sistem sebelum 2005, yakni pemilihan dilakukan oleh DPRD.

Rencana itu mengemuka pada akhir 2014, setelah Prabowo gagal mengalahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperebutkan kursi kepresidenan.

Prabowo memimpin koalisi multipartai yang disebut Koalisi Merah Putih untuk meloloskan rancangan undang-undang Pemilu Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang memberikan opsi bahwa gubernur dan bupati/walikota dipilih oleh DPRD.

Pada 25 September 2014, koalisi yang terdiri dari Partai Gerindra, Golkar, PKS, PAN, dan PPP akhirnya memenangkan voting dengan dukungan 226 suara sehingga DPR menyetujui RUU Pilkada dengan opsi dikembalikan pada DPRD.

Namun demikian, saat itu upaya Prabowo digagalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masih menjabat.

Karena reaksi publik yang begitu keras, SBY mengeluarkan dua dekrit yang membatalkan langkah amandemen konstitusi itu.

Untuk mengubah sistem pemilu, perlu ada pembatalan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) yang dibuat sejak 1999-2002.

UUD yang sudah diamandemen empat kali ini secara jelas mendukung pemilu demokratis, melindungi hak asasi manusia, dan membatasi masa jabatan presiden hanya lima tahun dengan maksimal dua periode.

Lebih lanjut, upaya menghilangkan pemilu langsung ini juga terlihat dalam manuver faksi-faksi yang berusaha mengikis demokrasi reformasi, yang diperburuk dengan ambisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) "mengonsolidasikan dan mengabadikan warisannya."

Pada 2023, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mendesak agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Jika MPR menjadi lembaga tertinggi lagi, maka MPR berwenang memilih langsung presiden dan wakil presiden.

Gerindra pun menyambut wacana ini. Wakil Ketua Gerindra, Habiburokhman, mengatakan usulan ini akan ditinjau kembali setelah pemerintahan baru terbentuk.

"Jika Prabowo dapat mempertahankan popularitasnya seperti yang dilakukan Jokowi, ia mungkin akan merasa berani untuk menunjukkan kekuatan otoriternya dan sekali lagi mendorong pembatalan amandemen konstitusi pasca tahun 1999 dan diakhirinya pemilihan langsung," ucap Wilson dalam opininya.

Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru